Batam

Diplomasi Tanjak: Seruput Kearifan Melayu di Tengah Badai PWI

Juliadi | Kamis 08 May 2025 14:52 WIB | 78

Pojok Opini


Ketua PWI Batam, Muhammad Kavi Anshary dan Ketum, Zulmansyah Sekedang, Rabu (7/5/2025)


Matakepri.com, Batam -- Di sebuah pagi yang hangat di Ballroom Planet Holiday, Batam, Rabu (7/5/2025), sebuah gestur kecil menghentak panggung besar: Muhammad Khavi Ansyari, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Batam, memakaikan tanjak atau penutup kepala khas Melayu ke kepala para petinggi PWI Pusat, Ketua Umum (Ketum) PWI, Zulmansyah Sekedang, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Wina Armada dan Ketua Dewan Kehormatan PWI, Sasongko Tedjo. 


Sejenak, di balik ritual pelantikan yang cenderung formal dan seremonial, sebuah bahasa simbolik yang dalam menyelinap: Diplomasi Tanjak.


Tanjak, bagi orang Melayu, bukan sekadar sepotong kain yang dilipat-lipat indah. Tanjak adalah simbol martabat. Tanjak memuliakan kepala, bukan hanya dalam pengertian harfiah, tetapi juga memuliakan pikiran, akal sehat, dan kebijaksanaan. 


Kepala adalah pusat kendali manusia, tempat bertemunya nalar, intuisi, dan moral. Dalam peristiwa itu, Khavi seakan berbisik ke telinga PWI Pusat: gunakanlah kejernihan pikiran, rawatlah marwah organisasi, jangan tergelincir oleh riak kekuasaan.


Simbol ini terasa makin penting di tengah konflik internal yang mencengkeram PWI belakangan ini. Isu dualisme akibat manuver Hendry Ch Bangun — mantan Ketua Umum yang diberhentikan karena kasus cashback — terus membayang-bayangi organisasi. Hendry, yang tak terima pemecatan, memainkan bidak kekisruhan ke daerah-daerah, menciptakan kesan PWI terbelah dua. Namun secara legal dan formal, organisasi itu sah berjalan di bawah komando Zulmansyah.


Lewat Diplomasi Tanjak, Khavi tidak sedang membangun panggung politik atau sekadar menyemai basa-basi Melayu. Ia sedang memperlihatkan wajah baru PWI Batam: organisasi yang mengerti pentingnya martabat, bahkan ketika badai tengah mengguncang. 


Dalam bahasa simbolik itu, Khavi ingin berkata: kami, di Batam dan Kepri, bukan sekadar penonton dari drama pusat. Kami mitra yang siap menopang, tapi juga mengingatkan; mendukung, tapi tetap kritis.


Tanjak: Menjulang Marwah, Menundukkan Nafsu Kuasa

Tanjak lahir dari peradaban Melayu yang peka pada kehormatan. Ia adalah simbol keluhuran, pengingat bahwa hidup bukan hanya urusan perut, tapi juga urusan kepala. 


Dalam lipatan-lipatan tanjak, tersimpan filosofi keteraturan, ketegasan, dan kearifan. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling jernih berpikir; bukan yang memburu pujian, tapi yang tahu mengelola konflik tanpa membakar jembatan.


Di tengah era konvergensi media yang mengguncang — ketika cetak, elektronik, dan digital harus menari dalam satu irama atau tergilas — PWI Kepri berdiri di persimpangan yang rumit. Dunia pers lokal tidak bisa sekadar menonton pergeseran ini seperti menonton ombak dari pantai. Mereka harus melompat ke pusaran, memikirkan ulang peran dan masa depan, mencari model keberlanjutan yang tak hanya bergantung pada iklan dan belas kasih kekuasaan.


Mengawasi Kekuasaan, Bukan Merayunya

Khavi, dengan Diplomasi Tanjak-nya, juga mengirimkan pesan yang lebih besar: PWI Kepri dan PWI Batam bukanlah kepanjangan tangan pemerintah atau pelayan modal. Di tanah perbatasan seperti Kepri, di mana investasi deras mengalir dan politik berdenyut kencang, media justru dituntut untuk waspada, bukan jinak. Fungsi kontrol, daya kritis, dan keberanian menguji klaim pemerintah adalah inti dari kemitraan sejati. Tanpa itu, pers hanya jadi pemandu sorak kekuasaan, sibuk memuja tanpa menggugat.


Etika kritik menjadi penting. Media bukan rumah fitnah, tapi juga bukan rumah sanjung. Di sini, tanjak menemukan maknanya yang paling politis: memuliakan kepala berarti memuliakan akal sehat; dan memuliakan akal sehat berarti menolak tunduk pada pujian kosong, apalagi pada godaan kuasa.


Refleksi Akhir: Dari Tanjak ke Jurnalisme Bermartabat

Di bawah bayang-bayang konflik pusat, Khavi memahat jalan lain: jalan simbol, jalan kearifan lokal, jalan diplomasi yang halus tapi menggigit. Diplomasi Tanjak adalah undangan untuk berpikir ulang: apakah kita ingin organisasi pers yang sekadar selamat, atau organisasi yang bermartabat? Apakah kita ingin jurnalis yang sekadar sibuk mengejar klik, atau jurnalis yang bisa mengawasi, merumuskan ulang, dan kadang, berani mengatakan: “tidak”?


Ketika tanjak dikalungkan di kepala para pimpinan PWI, kita diajak mengingat bahwa yang paling berharga dari pers bukanlah akses ke kekuasaan, tetapi kemampuan menjaga jarak darinya. Dalam lipatan tanjak, terjaga sebuah pesan abadi: martabat tak pernah lahir dari tunduk, tapi dari tegak yang tahu diri.


Di era ketika banyak media goyah, pesan itu seperti seruput kopi pahit di pagi hari: menggigit, menyadarkan, sekaligus menguatkan. 


Penulis : Ramon Damora

Redaktur : ZB



Share on Social Media