News, Politik

Kecaman Raja Arab Saudi Terkait Keputusan AS Mengenai Yerusalem

| Selasa 19 Dec 2017 10:48 WIB | 1493




MATAKEPRI.COM, Jakarta - "Kerajaan mengutuk dan menyesalkan atas keputusan AS mengenai Yerusalem, karena pelepasan hak-hak bersejarah rakyat Palestina di Yerusalem." Kecaman tersebut meluncur dari Raja Arab Saudi, Salman Bin Abdul Azis al Saud sehari setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyampaikan rencana pemindahan Kedutaan AS di Israel ke Yerusalem.


Tapi sejumlah analis politik dan politisi di kawasan Timur Tengah diam-diam mencibir sikap Saudi tersebut. Bagi mereka, kecaman terhadap Trump itu tak lebih dari basa-basi belaka. Para pejabat Arab diam-diam menyebutkan Arab Saudi berada dalam satu bahtera dengan Trump untuk menggarap proses perdamaian Israel-Palestina. Konsep perdamaian ala Trump ini baru dimulai.

Empat pejabat Palestina yang tak mau disebutkan namanya menyebutkan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah mendiskusikan tawaran yang diajukan oleh menantu sekaligus penasehat Presiden Trump, Jared Kushner.

Salah seorang pejabat itu menyatakan Pangeran Mohammad meminta Presiden Abbas untuk mendukung langkah perdamaian AS ketika bertemu di Riyadh, November 2017. Tawaran ini baru akan diungkap pada paruh pertama 2018.

"Sabar, kamu akan mendapat berita baik. Proses perdamaian ini akan melangkah maju," ucap pejabat Palestina lainnya menirukan Pangeran Mohammed.

Hubungan AS-Arab Saudi belakangan kian intim. Mereka memiliki kepentingan sama untuk menghadapi Iran. Selain itu Kushner menjalin hubungan personal dengan Pangeran Mohammed.

Pejabat Palestina khawatir, penutupan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan Palestina akan memisahkan kawasan negara Palestina dari Tepi Barat tanpa pengembalian hak pengungsi yang terusir pada perang 1948 dan 1967. Proposal perdamaian yang ditawarkan Kushner persis dengan kekhawatiran ini.

Proposal tersebut memasukkan entitas Palestina di Gaza serta administrasi Tepi barat A, B, dan 10 persen di area C. Area tersebut, kata salah satu pejabat Palestina, berisi pemukiman Yahudi.

"Pemukiman Yahudi di Tepi Barat akan tetap dipertahankan, takkan ada hak untuk kembali (bagi warga Palestina), dan Israel akan tetap mempertahankan kuasanya di perbatasan," jelasnya.

Usulan tersebut sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada di Tepi Barat. Kontrol Palestina semakin luas namun jauh dari tuntutan minimum wilayah nasional yang mereka inginkan.

"Ini ditolak warga Palestina. Abu Mazen (nama sapaan Presiden Abbas) menjelaskan posisi tersebut dan bahayanya terhadap kepentingan Palestina, dan Arab Saudi memahami hal itu," kata pejabat tersebut.

Trump berusaha mengurangi tekanan pengumuman terkait Yerusalem dengan menelpon Presiden Abbas sehari sebelumnya. Ia menyatakan, kata pejabat Palestina itu, penduduk Palestina akan memperoleh keuntungan dari rencana yang dibuat oleh Kushner dan utusan Timur Tengah, A. Jason Greenblatt.

"Presiden Trump dalam sebuah panggilan telepon mengatakan kepada Abu Mazen: 'Saya akan memiliki beberapa proposal yang Anda inginkan'. Ketika Abu Mazen menekankan rinciannya, Trump tidak memberikannya," lanjut pejabat Palestina itu.

Sumber Arab Saudi meyakini pemahaman perdamaian Israel - Palestina akan muncul dalam beberapa pekan mendatang. Selaku pebisnis, Trump tak boleh diremehkan. Ia selalu menyebutkan kesepakatan akhir.

"Saya tidak berpikir pemerintah kita akan menerima kecuali jika ada janji manis dalam pipa yang bisa dijual Raja ke Arab - bahwa Palestina akan memiliki negara mereka sendiri," ujar sumber dari Arab itu.

Pihak Kerajaan Arab Saudi tak memberikan respons yang diajukan Reuters. Sedangkan pejabat berwenang Gedung Putih menyatakan Kushner tidak meminta Putra Mahkota Arab Saudi untuk berbicara dengan Abbas mengenai rencana perdamaian mereka. Si pejabat juga membantah bahwa Kushner mengkomunikasikan rincian tersebut kepada Pangeran Mohammed. "Ini tidak secara akurat mencerminkan bagian dari percakapan itu."

Kebijakan Trump ini memiliki reaksi seragam dari negara-negara Arab. Yordania merupakan salah satu negara yang memiliki peran kunci keberhasilan tersebut. Namun mereka tak mau menandatangani kesepakatan tanpa Yerusalem.

Analis Politik Oraib Rantawi mengaku telah bertemu dengan Raja Abdullah setelah pertemuan pihak kerajaan dengan AS. Ia menyatakan Amman, ibukota Yordania, khawatir Arab Saudi telah melewatkan mereka.

"Ada hubungan langsung dan keinginan untuk menyampaikan kesepakatan yang tidak adil kepada orang-orang Palestina sebagai imbalan untuk mengamankan dukungan AS dan membuka jalan bagi kerja sama Teluk-Israel untuk menghadapi Iran," jelasnya.(***)




Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait